NTT || jejak-indonesia.id – Anggota DPR RI dari Dapil NTT I dan II yakni Melkias Markus Mekeng, Ahmad Yohand Juli Laiskodat, dan Rudi Kabunang; para advokat nasional asal NTT seperti Petrus Selestinus, Petrus Ballapationa, Honing Sani, serta Divisi Hukum Forum Pemuda NTT yang diketuai oleh Wilvridus Watu. Semua pihak sepakat bahwa langkah banding harus ditempuh agar putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) tidak berkekuatan tetap, sembari tetap menghormati dan mengedepankan keadilan bagi korban almarhum Afan Kurniawan.
Dalam kesempatan itu, Gories Mere menyampaikan rekam jejak pengabdian Kompol Kosmas yang bergabung dengan Polri sejak 1996. Ia pernah bertugas di berbagai wilayah konflik seperti Timor Timur, Papua, Poso, Aceh, hingga misi perdamaian Garuda di Lebanon. Pada 2 Januari 2007.
“Saat bertugas di daerah konflik, Kompol Kosmas tertembak di bahu kanan oleh kelompok bersenjata dan nyaris harus diamputasi di RS Polri Kramat Jati, kemudian dirujuk, berkat perawatan intensif di RS Elisabeth Singapura, luka tersebut dapat diselamatkan, namun bekas tembakan masih membekas hingga kini sebagai simbol pengorbanan. Putusan PTDH terhadap putra terbaik NTT yang telah mengabdi lebih dari 30 thn ini menimbulkan keprihatinan luas. Pasca putusan sidang kode etik di Bareskrim Polri,” ujar Gories Mere (6/9/2025).
Kompol Kosmas menyampaikan pernyataan terbuka berisi permohonan maaf, serta penghormatan kepada keluarga korban. Ia menegaskan hanya melaksanakan tugas sesuai perintah komando, tanpa ada niat untuk mencelakakan siapa pun. Kejadian itu di luar dugaan dan baru diketahui adanya korban setelah tersebar di media sosial,” tegas Kompol Kosmas
Jika dilihat dari sisi faktual, kondisi kendaraan taktis Brimob memiliki keterbatasan jarak pandang ke bawah, ditambah kaca yang terkena gas air mata sehingga semakin sulit melihat. Peristiwa terjadi dalam suasana kericuhan, di mana massa justru menyerang kendaraan, bukan menolong korban yg terjatuh. Kompol Kosmas saat itu duduk di samping sopir, bukan pengemudi. Jika kendaraan kembali bergerak, hal itu dilakukan karena adanya tekanan situasi, bukan karena mengetahui ada korban di bawah ban.
Dari sisi hukum pidana, tidak ditemukan unsur dolus (kesengajaan) karena tidak ada niat atau kehendak batin untuk menghilangkan nyawa orang lain. Unsur culpa (kelalaian) pun sulit dibuktikan mengingat posisi Kompol Kosmas bukan pengemudi, serta situasi objektif yang tidak memungkinkan dirinya mengetahui adanya korban. Peristiwa ini lebih tepat dikategorikan dalam kerangka overmacht (keadaan memaksa), di mana kendaraan harus bergerak karena terdesak oleh serangan massa demi keselamatan anggota di dalamnya.
Oleh karena itu, penjatuhan sanksi PTDH terhadap Kompol Kosmas dapat dinilai tidak proporsional, baik dari kacamata hukum pidana maupun etik. Upaya banding menjadi jalan konstitusional yang harus ditempuh agar perkara ini diputus dengan lebih adil dan proporsional. Dukungan luas dari tokoh masyarakat, wakil rakyat, serta praktisi hukum menunjukkan bahwa kasus ini bukan sekadar menyangkut satu individu, tetapi juga menyangkut rasa keadilan publik. Kompol Kosmas adalah sosok pengabdian dari tanah NTT untuk NKRI, dan tragedi ini seharusnya menjadi refleksi bersama agar hukum ditegakkan dengan adil, proporsional, serta menjunjung tinggi kemanusiaan.
(Wilvridus Watu, S.H., M.H.)