Opini, Jejak – Indonesia.id | Indonesia sudah 80 tahun merdeka. Namun, pertanyaan besar masih menggantung: apakah kita benar-benar merdeka dari ketertindasan, atau hanya berpindah dari cengkraman asing ke jeratan bangsa sendiri?
Julukan paru-paru dunia yang disematkan pada negeri ini kian kehilangan makna. Hutan habis, laut tercemar, tanah dijual ke asing, dan sumber daya dikeruk tanpa kendali.
Luka terbesar bukan datang dari luar, melainkan dari pengkhianatan anak negeri sendiri, mereka yang berteriak paling keras soal nasionalisme, tetapi diam-diam menjual bangsa demi keuntungan pribadi.
Delapan dekade lalu, founding fathers mempertaruhkan darah dan nyawa untuk membebaskan negeri ini dari kolonialisme.
Kini, justru para pemimpin yang mestinya mewarisi semangat itu sibuk memelihara oligarki, mempertontonkan politik transaksional, dan mempermainkan demokrasi hanya demi kursi kekuasaan.
Korupsi, kolusi, nepotisme, dan fitnah politik menjadi tontonan sehari-hari. Lalu di mana wajah Indonesia Emas yang sering dijanjikan?
Pendidikan yang seharusnya jadi fondasi bangsa masih terbelenggu ketimpangan. Pemerintah berkoar soal “makan bergizi gratis”, tapi lupa bahwa otak yang lapar pengetahuan tak bisa disuap dengan janji politik.
Pendidikan gratis dan merata, akses kesehatan yang adil, serta perlindungan bagi petani dan nelayan, jauh lebih mendesak ketimbang proyek mercusuar yang hanya memperkaya elit dan kontraktor.
Dua puluh tahun menuju 2045 bukanlah waktu panjang. Satu generasi bisa gagal jika hari ini tidak ada keberanian untuk membongkar sistem busuk yang sudah lama berakar.
Generasi muda hanya akan jadi penonton jika panggung politik terus dikuasai segelintir elit yang mengatur negeri bak perusahaan keluarga.
Indonesia memang merdeka secara de jure, tetapi secara de facto kita masih terjajah: oleh keserakahan, oleh pengkhianatan, oleh pemimpin yang lebih sibuk memoles citra daripada mengurus rakyat.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka “Indonesia Emas” hanyalah ilusi, slogan kosong yang akan terkubur bersama reputasi bangsa.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-80. Jangan biarkan kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah berubah menjadi pesta oligarki.
Jika pemimpin terus berkhianat, maka rakyatlah yang harus berdiri, mengawal, dan menagih janji. Sebab negeri ini bukan milik segelintir elit, tetapi milik seluruh anak bangsa.
Penulis : Mangge Muhlis Muhtar (M3), Pemerhati Negeri dari Tanah Kaili